Merangkul komunitas difabel di Cirebon untuk mandiri dan berdikari merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil bagi semua. Abdul Mujib dan Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) telah menjadi pelopor dalam mewujudkan hal ini. Mereka tidak hanya berfokus pada upaya peningkatan kesadaran sosial tentang hak-hak difabel, tetapi juga memperjuangkan pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi komunitas difabel melalui pelatihan keterampilan dan akses ke berbagai program pembangunan.
Beberapa program yang digagas oleh FKDC dan pemerintah daerah, seperti desa ramah difabel dan pelatihan keterampilan, bertujuan untuk memberikan difabel kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dari pelatihan pembuatan produk olahan pangan seperti keripik pisang hingga keterampilan budidaya ikan dan pengelolaan bank sampah, FKDC berusaha untuk memastikan bahwa para difabel di Cirebon dapat memiliki keterampilan yang bermanfaat dan menjadi mandiri secara finansial.
Selain itu, pentingnya aksesibilitas fisik dan kesetaraan hak dalam sistem pendidikan dan pelayanan publik juga menjadi fokus utama. Kebijakan seperti Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas menunjukkan komitmen Pemkab Cirebon untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah difabel, meskipun implementasinya masih perlu ditingkatkan.
Dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi seperti FKDC, harapan bagi komunitas difabel di Cirebon untuk mandiri dan berdikari semakin besar. Kesadaran bahwa inklusivitas bukan hanya tentang memberikan bantuan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi dalam masyarakat, adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Ini adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang benar-benar menghargai keberagaman dan memberi ruang bagi semua untuk berkembang.
Perjalanan hidup Abdul Mujib adalah kisah tentang keberanian untuk melawan ketidakberdayaan yang disebabkan oleh kondisi fisik dan stigma sosial. Sejak kecil, ia sudah merasakan perbedaan yang jelas antara dirinya dan teman-teman sebayanya. Polio yang menyerangnya sejak usia dua tahun mengurangi fungsi kaki kanannya, membuatnya harus bergantung pada tongkat untuk bergerak. Pada masa itu, keluarga Mujib merasa pendidikan bukanlah hal yang layak diperjuangkan baginya, karena keterbatasan fisik yang dianggap menjadi hambatan besar dalam proses belajar.
Namun, di tengah kondisi tersebut, sebuah momen penting muncul. Seorang guru sekolah dasar yang melihat Mujib sering duduk termenung di depan sekolah akhirnya menghampirinya dan menanyakan apakah ia ingin bersekolah. Pertanyaan tersebut menjadi titik balik dalam hidup Mujib. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan untuk meraih kesempatan pendidikan formal pertamanya.
Mujib mengenang, bahwa guru tersebut tidak hanya memberi semangat, tetapi juga turun tangan untuk berbicara dengan keluarganya dan meyakinkan mereka agar memberikan izin untuk dia bersekolah. Meskipun terlambat, Mujib akhirnya dapat menapaki bangku sekolah, sebuah langkah penting yang menjadi awal dari perjalanan panjangnya melawan berbagai tantangan.
Namun, dunia pendidikan ternyata tidak selalu ramah pada orang-orang seperti Mujib. Meski mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, ia harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua orang di sekitarnya menerima atau memahami kondisi difabel. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar yang harus dihadapi Mujib dalam perjalanan pendidikan dan kehidupan sosialnya.
Keteguhan yang ditunjukkan oleh Abdul Mujib selama masa-masa sekolah adalah cerminan dari semangat yang luar biasa untuk bertahan, meskipun harus menghadapi perundungan dan diskriminasi. Bangku sekolah bagi Mujib bukan hanya tempat belajar, tetapi juga arena yang penuh dengan tantangan emosional dan fisik. Teman-temannya sering kali mengolok-oloknya karena kondisi fisiknya, dengan menarik tongkat yang digunakannya atau menertawakan langkahnya yang pincang. Namun, bukan itu yang membuat Mujib menyerah. Sebaliknya, dia belajar untuk bertahan dengan cerdas.
Mujib menemukan cara untuk melawan olokan tersebut dengan membangun hubungan yang baik dengan teman-teman yang berpengaruh di sekolah. Dengan pendekatan ini, teman-teman yang biasanya suka merundung mulai menjaga jarak, dan suasana di sekolah perlahan mulai berubah. Tekad dan kecerdikan inilah yang akhirnya membantunya untuk lulus dari sekolah dasar, sebuah pencapaian besar yang diraih dengan perjuangan keras, baik secara fisik maupun emosional.
Setelah lulus SD, hidupnya tidak langsung menjadi mudah. Mujib melanjutkan hidup dengan berbagai pekerjaan serabutan, termasuk bekerja di peternakan ayam dan mengikuti pelatihan di panti sosial. Di panti sosial inilah Mujib mendapatkan kesadaran baru: ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Banyak teman-teman di panti yang memiliki kondisi yang bahkan lebih berat, namun mereka tetap berjuang untuk hidup mereka. Kesadaran ini memberikan perspektif baru bagi Mujib, bahwa setiap orang difabel memiliki kekuatan untuk bertahan dan berjuang, tidak peduli seberat apa pun tantangan yang dihadapi.
Melalui pengalaman ini, Mujib tidak hanya belajar tentang dirinya sendiri, tetapi juga menemukan solidaritas dengan sesama difabel, yang kemudian mengarah pada langkah-langkah lebih besar dalam perjuangan untuk pemberdayaan dan kesetaraan komunitas difabel di Cirebon.
Kesadaran yang muncul dari pengalaman di panti sosial menjadi titik balik penting bagi Abdul Mujib. Meskipun bantuan yang diterima sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata, dan membuat mereka merasa seperti objek yang diperlakukan semata, itu justru semakin mempertegas tekad Mujib untuk keluar dari panti tersebut. Dia ingin menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya menerima bantuan tanpa perubahan nyata dalam kehidupannya.
Kegagalan, bagi Mujib, bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan cambuk yang memotivasi dirinya untuk terus maju. Dari pengalaman-pengalaman pahit ini, dia semakin yakin bahwa hidup harus dijalani dengan tekad dan keyakinan bahwa setiap individu difabel berhak untuk meraih kesejahteraan dan dihargai. Dari sinilah semangat untuk merangkul sesama difabel semakin tumbuh.
Pada tahun 2004, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon memberikan kesempatan besar kepadanya untuk mengajar pelatihan servis elektronik, sebuah keahlian yang sudah dimilikinya. Kesempatan ini bukan hanya memberi Mujib kesempatan untuk berbagi pengetahuan, tetapi juga membuka jalan untuk mempelajari hal baru yang sangat berarti dalam kehidupannya, yaitu tentang keorganisasian dan membangun jaringan.
Setahun setelahnya, Mujib mendirikan Kelompok Usaha Bersama Binangkit Jaya di Desa Durajaya, yang menjadi simbol kebangkitan dan harapan. Nama “Binangkit” mencerminkan perjuangan mereka untuk keluar dari keterpurukan, memulai dari titik rendah dan meraih keberhasilan bersama. Kelompok ini perlahan berkembang pesat, dan menjadi tempat bagi mereka yang dijauhi masyarakat dan hidup di bawah bayang-bayang stigma sosial.
Dari kelompok ini, lahirlah Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC), sebuah organisasi yang dipelopori oleh Mujib, yang bertujuan untuk menjadi wadah bagi komunitas difabel di Cirebon untuk bersatu, berkomunikasi, dan memberdayakan diri. FKDC bukan hanya sekadar organisasi, tetapi juga menjadi gerakan yang mendorong difabel untuk meraih kemandirian, memperjuangkan hak-hak mereka, dan menciptakan ruang yang inklusif dalam masyarakat.
Melalui FKDC, Mujib dan teman-temannya terus berupaya membangun kesadaran dan meruntuhkan stigma sosial terhadap difabel, mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan memahami pentingnya inklusi. Kebangkitan yang diawali dari Binangkit Jaya kini merambah seluruh Cirebon, membawa harapan bagi ribuan difabel yang sebelumnya terpinggirkan.
Abdul Mujib menjelaskan bahwa Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) bukan hanya sekadar organisasi, tetapi menjadi wadah bagi para difabel di Cirebon untuk menyuarakan aspirasi, bertukar pikiran, dan saling memberdayakan. Namun, perjalanan dalam membangun forum ini tidaklah mudah. Banyak orang yang meragukan langkah Mujib, bahkan keluarganya sendiri sempat menganggap bahwa kegiatan yang ia jalani tidak akan mendatangkan keuntungan finansial yang signifikan. Namun, Mujib tetap teguh pada keyakinannya, dengan tekad untuk membuktikan bahwa perjuangan ini berharga dan memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar materi.
Salah satu perjuangan besar yang diperjuangkan oleh FKDC adalah mewujudkan desa ramah difabel di Cirebon. Bagi Mujib, desa ramah difabel bukanlah sekadar slogan kosong, melainkan konsep yang harus diterapkan dengan serius dan memiliki indikator yang jelas. Data yang akurat tentang difabel, keterlibatan difabel dalam perencanaan kebijakan, serta penganggaran program inklusif menjadi bagian penting dari upaya ini.
Namun, di lapangan, Mujib dan FKDC menghadapi tantangan besar. Banyak kebijakan desa yang seolah-olah hanya menyalin ide dari internet tanpa benar-benar memahami kebutuhan nyata difabel. Ini menjadi salah satu alasan mengapa FKDC terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat dan aparat desa agar lebih peka terhadap isu ini, serta lebih memperhatikan aspek inklusivitas dalam kebijakan yang mereka buat.
Salah satu contoh keberhasilan FKDC adalah Di Desa Durajaya, di mana FKDC memanfaatkan potensi lokal pisang dan melatih para difabel untuk membuat keripik pisang sebagai salah satu produk lokal. Selain itu, di desa lain, mereka juga memberikan pelatihan budidaya ikan, pengelolaan bank sampah, dan keterampilan menjahit. Semua upaya ini bertujuan agar difabel tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga bisa menjadi lebih mandiri secara ekonomi.
Saat ini, FKDC telah memiliki 285 anggota aktif, mendampingi sekitar 900 difabel, serta merangkul lebih dari 600 penyintas kusta di Cirebon. FKDC terus bekerja keras untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap difabel dan menciptakan ruang inklusi yang lebih luas di tengah masyarakat.
Mimpi yang dirintis oleh Mujib dan FKDC adalah untuk mengubah stigma sosial terhadap difabel yang masih sering dipandang sebelah mata, dianggap tidak mampu, atau bahkan dianggap sebagai beban oleh banyak orang. Untuk itu, FKDC secara rutin mengadakan kampanye, seminar, dan diskusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi sosial.
Selain itu, FKDC juga aktif berkolaborasi dengan pemerintah daerah, mendorong keterlibatan difabel dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tematik. Menurut Mujib, keterlibatan difabel dalam perencanaan kebijakan sangat penting, karena jika mereka tidak dilibatkan, kebijakan yang dibuat tidak akan pernah tepat sasaran.
Upaya untuk menciptakan desa ramah disabilitas di Cirebon mulai berjalan, meskipun realisasinya masih perlu terus disempurnakan. Program ini telah diterapkan pada beberapa desa di Kecamatan Lemahabang, Kecamatan Greged, dan Kecamatan Astanajapura, dengan harapan dapat memberikan aksesibilitas yang lebih baik bagi para difabel.
Bagi Mujib, impian untuk menciptakan masyarakat yang inklusif bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan yang harus diwujudkan demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk difabel.
Proses penyusunan kebijakan mengenai kesejahteraan difabel di Cirebon masih menghadapi sejumlah tantangan, meskipun beberapa desa sudah mulai memiliki data yang lebih terstruktur. Salah satu aspek penting yang perlu ditingkatkan adalah keterlibatan aktif komunitas difabel dalam perencanaan program agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan mereka.
Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) menilai bahwa pokok permasalahan yang paling mendasar adalah dengan menyiapkan regulasi yang menjadi payung hukum bagi kelompok difabel. Salah satu langkah signifikan yang sudah diambil adalah penerbitan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2024 oleh Pemkab Cirebon, yang mengatur tentang perlindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Ini memberikan harapan bagi difabel di Cirebon untuk memperoleh hak-hak mereka secara lebih jelas dan terjamin.
Abdul Mujib, yang menjadi pendorong utama dalam upaya ini, menyampaikan bahwa memiliki impian dan tekad untuk meraihnya adalah hal yang sangat penting. Baginya, meskipun tantangan yang dihadapi sangat berat, usaha untuk mewujudkan impian tidak boleh surut. Mujib juga mencatat bahwa dalam Pilkada Jawa Barat 2024, isu disabilitas harus diangkat lebih tinggi dalam agenda politik untuk memperjuangkan hak difabel.
Namun, ia juga menekankan bahwa penyesuaian terhadap kebutuhan kelompok difabel dalam proses demokrasi—seperti fasilitas pemungutan suara yang ramah difabel—masih sangat diperlukan. Seperti yang dijelaskan, pintu masuk yang sempit dan ketiadaan kertas suara dengan huruf braille menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan difabel dalam pesta demokrasi belum optimal.
Dukungan pemerintah daerah terhadap komunitas difabel semakin kuat. Pemkab Cirebon melalui program-program strategis kini memberi perhatian khusus kepada komunitas difabel. Pada Hari Disabilitas Internasional 2024, Pemkab Cirebon menegaskan komitmennya dengan menghadirkan berbagai komunitas difabel dan memperkenalkan langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan difabel. Salah satu langkah terobosan adalah pengembangan desa ramah difabel. Program ini kini sudah diterapkan di beberapa desa dan direncanakan akan diperluas pada tahun 2025.
Desa-desa yang termasuk dalam program ini dirancang untuk menyediakan aksesibilitas yang lebih baik, baik dari sisi fisik, pendidikan, keterampilan, maupun kemandirian ekonomi warga difabel. Selain itu, pendataan yang lebih akurat mengenai difabel sangat penting untuk merancang program yang efektif. Pemkab Cirebon menyadari bahwa data yang valid adalah kunci untuk menciptakan kebijakan yang tepat sasaran.
Namun, di Kabupaten Cirebon, data difabel masih kurang tercatat dengan baik, yang menjadi salah satu tantangan bagi Pemkab Cirebon untuk menyelesaikan pendataan ini. Oleh karena itu, masyarakat juga diminta untuk berperan aktif dalam mendata anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas, dengan harapan bahwa setiap individu yang difabel dapat dihargai dan diberdayakan sesuai dengan kemampuan mereka.
Selain difabel, Pemkab Cirebon juga mengedepankan inklusi sosial untuk kelompok-kelompok rentan lainnya, seperti perempuan, anak, dan lansia. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi untuk perempuan kepala keluarga bertujuan untuk memberikan mereka akses yang lebih baik terhadap peluang ekonomi.
Meskipun ini semua masih dalam tahap awal, Pemkab Cirebon berkomitmen untuk terus memperbaiki dan memperluas fasilitas yang ada, termasuk di kantor satuan perangkat daerah (SKPD). Semua upaya ini mengarah pada tujuan utama untuk menjadikan inklusivitas sosial sebagai kenyataan, bukan hanya sebuah konsep.
Kabupaten Cirebon memang masih berada di awal perjalanan panjang menuju daerah ramah difabel, tetapi dengan perhatian dan komitmen yang terus meningkat, harapan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, termasuk difabel, akan semakin terwujud.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.