Isu yang diangkat oleh peneliti BRIN tentang risiko “ocean grabbing” dalam fenomena pagar laut memang sangat relevan dengan dinamika pengelolaan ruang laut di Indonesia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, “ocean grabbing” mengacu pada pengambilalihan ruang laut yang mengancam hak-hak masyarakat lokal, terutama nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya pada perikanan tradisional.
Fenomena pagar laut di daerah-daerah seperti Tangerang dan Bekasi menunjukkan bagaimana kebijakan dan pembangunan infrastruktur seperti pagar laut dapat menyebabkan privatisasi wilayah pesisir yang sebelumnya menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk mencari nafkah. Ketika wilayah tersebut dipatok dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM), masyarakat pesisir, terutama nelayan, kehilangan akses terhadap sumber daya laut yang mereka andalkan.
Lebih jauh lagi, pagar laut juga berdampak pada ekosistem pesisir yang menjadi tempat hidup dan pemijahan bagi banyak spesies laut. Kehilangan habitat alami ikan dan udang, serta terganggunya keseimbangan ekosistem, tidak hanya merugikan masyarakat pesisir dalam jangka pendek, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan produktivitas perikanan dalam jangka panjang.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pengelolaan ruang pesisir dan laut dengan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan, serta melibatkan masyarakat pesisir dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, kolaborasi antara pihak-pihak terkait seperti pemerintah, peneliti, dan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan pihak yang paling rentan.
Bagaimana menurutmu, apakah ada contoh kebijakan atau pendekatan lain yang bisa diadopsi untuk mengatasi masalah ini?
Pernyataan Anta Maulana Nasution menyoroti persoalan serius terkait dengan fenomena “ocean grabbing,” terutama dalam konteks pemagaran laut yang terjadi di beberapa daerah seperti Tangerang, Banten, dan Bekasi. Ketika wilayah pesisir atau laut diprivatisasi atau dikontrol oleh pihak tertentu, ini bukan hanya masalah hukum atau administratif, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan nelayan tradisional yang sudah rentan.
Ocean grabbing merujuk pada pengambilalihan ruang laut yang sebelumnya terbuka bagi masyarakat lokal, yang pada gilirannya menghilangkan akses nelayan terhadap sumber daya laut seperti ikan dan udang. Hal ini sangat merugikan karena masyarakat pesisir, yang sangat bergantung pada hasil laut untuk mata pencaharian mereka, kehilangan ruang untuk melaksanakan aktivitas ekonomi tradisional mereka.
Selain itu, dampak terhadap sumber daya perikanan dan ekosistem laut juga menjadi perhatian penting. Pemagaran laut dan tindakan lainnya yang berhubungan dengan pengerukan sumber daya alam bisa merusak habitat alami bagi ikan dan spesies laut lainnya. Wilayah pesisir sering menjadi tempat pemijahan atau tempat hidup spesies penting dalam rantai makanan laut, dan jika ekosistem ini terganggu, dampaknya akan terasa panjang dan meluas, tidak hanya untuk nelayan, tetapi juga untuk keseimbangan ekologi secara keseluruhan.
Hal ini menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem pesisir dan hak-hak masyarakat pesisir. Pemerintah, dalam hal ini, perlu lebih bijak dalam merumuskan kebijakan pengelolaan ruang laut dan pesisir, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam. Partisipasi aktif masyarakat pesisir bisa menjadi langkah yang sangat penting untuk mencegah terjadinya ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa depan.
Apa pendapatmu tentang bagaimana pemerintah dan pihak terkait bisa mengatasi masalah ini secara lebih adil dan berkelanjutan?
Pernyataan ini menggambarkan dampak yang sangat signifikan dari pembangunan pagar laut, yang dapat memperburuk masalah ketidaksetaraan bagi nelayan dan merusak keseimbangan ekosistem pesisir. Ketika wilayah pesisir dipagari, ini bukan hanya soal pembatasan akses fisik ke laut, tetapi juga soal menghilangkan hak-hak nelayan untuk mengakses sumber daya laut yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah. Dalam banyak kasus, pemagaran tersebut sering kali terkait dengan upaya privatisasi wilayah perairan, yang dapat membatasi ruang hidup dan aktivitas ekonomi yang sebelumnya terbuka bagi masyarakat setempat.
Lebih lanjut, seperti yang dijelaskan, beberapa kebijakan atau regulasi yang mendasari fenomena ini mungkin tidak cukup mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. Dalam jangka panjang, akuisisi ruang laut, baik melalui pemagaran atau melalui pengambilalihan area laut untuk kepentingan bisnis atau pembangunan, bisa merusak sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan masyarakat pesisir. Misalnya, merusaknya habitat alami ikan dan udang di wilayah pesisir yang merupakan tempat pemijahan mereka, atau mempengaruhi kualitas air dan keberagaman hayati yang mendukung ekosistem pesisir.
Untuk itu, seharusnya ada upaya lebih besar dari pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan pesisir dan laut. Kebijakan tersebut perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang, baik bagi masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada perikanan, maupun untuk keberlanjutan lingkungan. Pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis keadilan sosial perlu diutamakan, di mana suara masyarakat pesisir didengar dalam setiap kebijakan yang berdampak pada mereka.
Bagi nelayan dan masyarakat pesisir, solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah penerapan sistem perlindungan hak akses yang lebih kuat terhadap ruang laut dan pesisir, serta kebijakan yang mendukung keberlanjutan sumber daya alam di wilayah tersebut. Seperti apa menurutmu langkah konkret yang bisa diambil untuk mencegah dampak negatif ini di masa depan?
Pernyataan Anta Maulana Nasution menggarisbawahi masalah mendalam yang muncul dengan adanya pemagaran laut di wilayah Tangerang dan Bekasi, yang melibatkan sertifikasi hak atas lahan laut seperti Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Ini menunjukkan bahwa kebijakan agraria, seperti pemberian sertifikat pada ruang laut, bisa memperburuk masalah hak akses masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional. Ketika wilayah perairan yang sebelumnya terbuka untuk masyarakat menjadi terprivatisasi melalui sertifikat tersebut, nelayan kehilangan ruang yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah.
Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Anta, pagar laut ini juga memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Pagar laut merusak ekosistem pesisir yang sangat penting bagi kehidupan spesies laut, seperti ikan dan udang, yang bergantung pada wilayah pesisir untuk memijah dan berkembang biak. Kehilangan habitat alami ini bukan hanya merugikan kehidupan biota laut, tetapi juga merugikan masyarakat pesisir yang bergantung pada keberlanjutan perikanan untuk mata pencaharian mereka.
Penting untuk dipahami bahwa kebijakan yang mengarah pada pemagaran atau pengambilalihan ruang laut perlu mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan hak-hak masyarakat pesisir. Oleh karena itu, selain mendalami kebijakan dan regulasi terkait sertifikat hak atas perairan, pemerintah juga harus memastikan ada langkah-langkah perlindungan yang cukup untuk mencegah kerusakan yang lebih luas pada lingkungan dan ekonomi lokal.
Seiring dengan itu, apakah menurutmu perlu ada perubahan dalam kebijakan terkait sertifikasi hak atas lahan laut? Atau adakah model kebijakan yang bisa menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan dan keberlanjutan ekosistem serta hak-hak masyarakat pesisir?
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.