Jakarta (ANTARA) — Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) dianggap melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pandangan ini disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, seorang pakar hukum internasional dan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Pelanggaran Terhadap HAKI
Prof. Hikmahanto mengingatkan bahwa menurut UU Merek, merek dapat ditampilkan secara grafis melalui gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan susunan warna, yang membedakan satu merek dengan merek lainnya. Pemanfaatan identitas merek adalah hak sah pemilik usaha untuk membedakan produknya dari kompetitor lainnya.
“Pemuatan identitas merek adalah hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor. Ini adalah bagian dari hak HAKI yang dilindungi oleh undang-undang,” ujar Hikmahanto. Namun, menurutnya, dalam Rancangan Permenkes yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), seluruh kemasan rokok di Indonesia diwajibkan menggunakan desain yang seragam tanpa identitas merek yang dapat membedakan satu produk dengan produk lainnya.
“Ini akan menghapus hak pelaku usaha untuk membedakan produk mereka dengan produk pesaing. Tentu saja, pelaku usaha ingin bersaing dengan menonjolkan perbedaan merek mereka,” kata Hikmahanto.
Intervensi Asing Melalui FCTC
Lebih lanjut, Hikmahanto menyoroti bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok tersebut mencerminkan adanya intervensi asing, khususnya melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya berhubungan dengan isu kesehatan, tetapi juga merupakan agenda internasional yang memaksakan negara-negara tertentu untuk mengadopsi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan luar negeri.
“Hingga kini, Indonesia belum meratifikasi FCTC, namun dengan kebijakan seperti Rancangan Permenkes ini, seakan-akan kita dihadapkan pada pemaksaan kebijakan FCTC melalui Kemenkes. Ini menunjukkan bahwa Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan nasionalnya,” kata Hikmahanto.
Kontradiksi Kebijakan Indonesia
Hikmahanto menambahkan bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok yang diusulkan Kemenkes ini sangat kontradiktif dengan sikap Indonesia sebelumnya. Pada tahun 2012, ketika Australia pertama kali menerapkan aturan serupa mengenai penghilangan identitas merek pada kemasan rokok, Indonesia adalah salah satu negara yang menentang keras kebijakan tersebut.
“Indonesia menentang keras aturan penghilangan identitas merek pada bungkus rokok yang diterapkan Australia pada 2012. Namun kini, Indonesia justru akan menerapkan kebijakan yang sama. Ini jelas merupakan paradoks,” tambah Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, kebijakan ini tidak hanya akan berdampak pada pelaku industri tembakau, tetapi juga dapat mengganggu tenaga kerja dan merugikan produk ekspor Indonesia, khususnya dalam sektor hasil tembakau. Dengan adanya penyeragaman kemasan rokok tanpa merek, banyak pihak yang berpotensi terimbas, baik dari sisi industri, ekonomi, hingga perdagangan internasional.
Penutup
Prof. Hikmahanto menegaskan bahwa meskipun ada tujuan untuk mengurangi konsumsi rokok demi kesehatan publik, kebijakan yang merusak prinsip-prinsip HAKI dan kebijakan yang dipaksakan dari luar negeri harus diperhitungkan dengan matang. Indonesia, menurutnya, perlu menjaga kedaulatan hukum dan memastikan kebijakan yang diambil tidak merugikan industri lokal dan kepentingan nasional.
“Indonesia seharusnya tidak mengikuti begitu saja kepentingan internasional yang dapat mengancam kedaulatan kita dalam mengatur pasar dalam negeri,” tandas Hikmahanto.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.