Insentif PPN temporer, pemerintah diminta kaji alternatif kebijakan

Judul yang Anda sebutkan, “Insentif PPN temporer, pemerintah diminta kaji alternatif kebijakan,” mencerminkan kekhawatiran berbagai pihak terhadap dampak jangka panjang dari kebijakan insentif pajak yang bersifat sementara. Sebagai bagian dari upaya merespons kenaikan tarif PPN yang berlaku mulai Januari 2025, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai insentif dan pembebasan PPN di beberapa sektor penting, termasuk bahan makanan, transportasi, dan sektor UMKM.

Namun, sejumlah ekonom, termasuk Bhima Yudhistira dari Center of Economics and Law Studies (Celios), mengingatkan bahwa kebijakan yang bersifat temporer tersebut tidak akan cukup untuk memberikan solusi jangka panjang bagi perekonomian. Bhima menilai bahwa kebijakan yang lebih struktural dan berkelanjutan perlu dipertimbangkan. Alternatif seperti memperluas basis pajak dengan menerapkan pajak kekayaan serta menanggulangi penghindaran pajak bisa menjadi solusi yang lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat.

Selain itu, pemberian berbagai insentif di sektor-sektor tertentu, seperti UMKM, transportasi, dan pendidikan, yang diproyeksikan mencapai total sekitar Rp265,5 triliun pada 2025, bertujuan untuk meringankan beban masyarakat dan pelaku usaha. Meski demikian, masih ada potensi ketidakseimbangan dalam distribusi insentif ini, terutama di tengah adanya kekhawatiran terkait efisiensi tenaga kerja dan penurunan omzet di beberapa sektor, seperti otomotif dan FMCG.

Pemerintah diharapkan lebih memperhatikan keseimbangan antara kebijakan yang diberikan dan potensi dampaknya terhadap daya beli masyarakat, serta mengkaji berbagai alternatif kebijakan yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi lebih stabil dalam jangka panjang.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengkritik kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dinilainya kurang berfokus pada solusi jangka panjang. Bhima berpendapat bahwa insentif ekonomi yang disiapkan oleh pemerintah cenderung bersifat temporer dan berorientasi jangka pendek. Sebagai contoh, bantuan beras 10 kilogram per bulan dan diskon listrik 50 persen untuk listrik di bawah golongan 2200 VA hanya akan diberikan selama dua bulan (Januari–Februari 2025).

Selain itu, beberapa stimulus yang diberikan pemerintah merupakan perpanjangan dari kebijakan sebelumnya, seperti program PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan insentif pajak penghasilan (PPh) final UMKM sebesar 0,5 persen. Menurut Bhima, kebijakan ini bukanlah langkah baru yang dirancang untuk mengatasi dampak dari kenaikan tarif PPN yang baru diterapkan.

Meski pemerintah memberikan pembebasan PPN untuk beberapa barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting), mayoritas barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif PPN 12 persen. Hal ini menambah beban bagi masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih menghadapi ketidakpastian. Bhima menyarankan agar pemerintah lebih mempertimbangkan alternatif kebijakan yang dapat memberikan dampak lebih positif dan berkelanjutan, daripada bergantung pada insentif yang hanya berlaku sementara.

Bhima Yudhistira mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat memiliki dampak signifikan terhadap pelaku usaha. Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan efisiensi tenaga kerja karena omzet yang menurun, terutama di sektor-sektor seperti elektronik, otomotif, barang konsumsi cepat saji (FMCG), dan barang-barang konsumen lainnya. Dengan turunnya omzet, pelaku usaha mungkin akan memotong biaya, termasuk pengurangan tenaga kerja.

Kenaikan tarif PPN yang diumumkan bertepatan dengan musim libur Natal dan Tahun Baru, yang biasanya diikuti oleh kenaikan harga barang oleh produsen. Ketika harga barang sudah naik, ditambah dengan pemberlakuan tarif PPN yang lebih tinggi, Bhima khawatir bahwa hal ini akan memperburuk beban pengeluaran masyarakat, yang biasanya meningkat pada akhir tahun akibat lonjakan konsumsi.

Sebagai alternatif, Bhima mengusulkan agar pemerintah memperluas basis pajak dengan menerapkan pajak kekayaan dan menanggulangi penghindaran pajak. Menurutnya, kebijakan semacam ini bisa lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat, dibandingkan dengan hanya mengandalkan kenaikan tarif PPN.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pemerintah Indonesia akan melanjutkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN serta paket stimulus ekonomi sebagai respons terhadap kenaikan tarif PPN yang diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Insentif perpajakan yang diberikan pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai Rp265,5 triliun. Rincian pembebasan PPN tersebut meliputi:

  • Bahan makanan: Rp77,1 triliun
  • Insentif UMKM: Rp61,2 triliun
  • Transportasi: Rp34,4 triliun
  • Jasa pendidikan dan kesehatan: Rp30,8 triliun
  • Keuangan dan asuransi: Rp27,9 triliun
  • Otomotif dan properti: Rp15,7 triliun
  • Listrik dan air: Rp14,1 triliun
  • Kawasan bebas: Rp1,6 triliun
  • Jasa keagamaan dan pelayanan sosial: Rp700 miliar

Selain itu, pemerintah juga menyiapkan paket stimulus ekonomi yang mencakup enam aspek utama, yakni:

  1. Rumah tangga
  2. Pekerja
  3. UMKM
  4. Industri padat karya
  5. Mobil listrik dan hibrida
  6. Properti

Paket stimulus ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat dan sektor-sektor yang terdampak oleh kenaikan tarif PPN, serta untuk menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor-sektor yang berpotensi mengalami penurunan akibat perubahan tarif pajak. Dengan berbagai insentif ini, pemerintah berharap dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat dan sektor ekonomi tertentu di tengah tantangan ekonomi yang ada.

Tinggalkan Balasan