ASN bisa kena pidana kalau tidak netral, pengamat: Tinggal penerapan

Menurut pengamat politik Hendri Satrio, masyarakat kini hanya tinggal menunggu penerapan sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri yang terbukti tidak netral dalam Pilkada 2024. Hal ini merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan penerapan sanksi pidana bagi pejabat negara, pejabat daerah, serta ASN dan aparat TNI/Polri yang melanggar netralitas selama pelaksanaan pilkada.

Hendri Satrio menjelaskan bahwa sesuai dengan keputusan MK, pelanggaran netralitas dalam Pilkada bisa dikenai hukuman pidana maksimal enam bulan penjara dan/atau denda hingga Rp6 juta. Namun, penerapan sanksi tersebut sangat tergantung pada ketegasan atasan masing-masing instansi. Menurutnya, efektivitas penegakan aturan ini bergantung pada sikap pimpinan dalam menindak aparat yang melanggar.

“Kalau efektif atau tidak ya sebenarnya tergantung atasan dari aparat yang bersangkutan. Atasan dari aparatnya mau tidak menghukum anak buahnya yang melanggar,” ujar Hendri, yang juga seorang dosen di Universitas Paramadina.

Ia menambahkan bahwa meskipun kemungkinan aparat melaporkan rekan sejawatnya atau atasannya yang melanggar netralitas sangat kecil, setidaknya adanya aturan ini memberikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban jika terjadi pelanggaran. “Namanya aparat melaporkan aparat itu jarang terjadi, tetapi minimal aturannya ada dulu,” kata Hendri, menekankan pentingnya keberadaan regulasi yang jelas.

Putusan MK yang mengabulkan gugatan terkait sanksi bagi ASN, pejabat desa, pejabat daerah, dan aparat TNI-Polri menegaskan bahwa mereka yang terbukti melanggar netralitas dalam Pilkada dapat dikenakan sanksi pidana dan denda. Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 yang sebelumnya tidak mencakup pejabat daerah dan aparat TNI/Polri, kini juga mengatur hal tersebut setelah putusan MK terbaru.

Selain itu, Hendri Satrio juga mengingatkan agar para pimpinan tidak menyalahgunakan wewenang mereka dalam proses Pilkada, dan ia menyarankan agar para bawahan berani melaporkan jika pimpinan mereka terlibat dalam pelanggaran netralitas. “Atau malah jangan-jangan justru atasannya yang melanggar. Berani atau tidak anak buahnya melaporkan atasannya,” ujarnya.

Dengan adanya keputusan MK ini, diharapkan Pilkada 2024 dapat berlangsung dengan lebih adil dan jujur, tanpa adanya keberpihakan dari aparat pemerintah atau aparat keamanan.

Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan, masyarakat kini hanya tinggal menunggu implementasi sanksi terhadap aparatur sipil negara (ASN) serta aparat TNI dan Polri yang melanggar prinsip netralitas dalam Pilkada 2024. Menurutnya, hal ini merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan penerapan sanksi pidana kepada pihak-pihak yang terbukti tidak netral, dengan ancaman pidana maksimal enam bulan penjara atau denda hingga Rp6 juta.

Hendri menambahkan, penerapan sanksi ini tergantung pada ketegasan atasan masing-masing instansi. “Kalau efektif atau tidak, ya tergantung pada atasan dari aparat yang bersangkutan. Apakah atasan mau atau tidak menindak anak buah yang melanggar,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa meskipun aparat jarang melaporkan sesama rekan atau atasan, setidaknya adanya aturan yang jelas memberi dasar hukum untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran netralitas tersebut.

MK mengubah Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015, yang sebelumnya tidak menyebutkan pejabat daerah, TNI, dan Polri, kini mencakup mereka dalam kategori yang bisa dikenakan sanksi pidana jika terbukti tidak netral selama pilkada.

Dengan adanya aturan ini, Hendri berharap Pilkada 2024 dapat berlangsung sesuai dengan asas jujur dan adil, tanpa adanya keberpihakan dari ASN atau aparat TNI dan Polri.

Tinggalkan Balasan