Ekonom sebut butuh produk keuangan yang sesuai untuk kredit pertanian

Dalam konteks sektor pertanian, beberapa ekonom menekankan pentingnya pengembangan produk keuangan yang sesuai untuk mendukung Kredit Usaha Rakyat (KUR), terutama di sektor pertanian. Hal ini bertujuan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi petani, terutama di sektor pertanian skala kecil.

Sebagai contoh, Eliza Mardian, peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, menyatakan bahwa pemerintah perlu mengembangkan produk keuangan yang lebih sesuai dengan karakteristik sektor pertanian. Banyak petani yang tergolong unbankable, artinya mereka tidak memiliki akses ke rekening bank dan belum terbiasa dengan produk keuangan formal. Kondisi ini menghambat mereka dalam mengakses fasilitas pembiayaan, termasuk KUR.

Salah satu masalah utama adalah perbedaan antara pola pendapatan petani yang musiman dan produk keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan, yang sering kali mengharuskan pembayaran angsuran bulanan. Hal ini tidak sinkron dengan pendapatan petani yang hanya diperoleh pada saat panen, dan pendapatan tersebut pun sangat bergantung pada fluktuasi harga komoditas.

Pemerintah sendiri telah mengalokasikan anggaran Rp300 triliun untuk KUR secara nasional, dengan alokasi sebesar Rp100 juta tanpa agunan untuk petani. Meski demikian, risiko kredit macet menjadi perhatian besar bagi perbankan, sehingga penting untuk merancang produk keuangan yang lebih adaptif dan mampu menanggulangi tantangan struktural ini.

Kesimpulan utama yang sering disampaikan oleh ekonom adalah bahwa produk keuangan yang ditawarkan harus lebih fokus pada kebutuhan spesifik petani skala kecil, dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti musim panen, fluktuasi harga komoditas, serta akses yang lebih mudah untuk kelompok petani yang tidak memiliki jaminan yang cukup.

Eliza Mardian, peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mengembangkan produk keuangan yang lebih sesuai untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor pertanian agar dapat disalurkan secara lebih optimal. Ia mencatat bahwa banyak petani di Indonesia yang unbankable, atau tidak memiliki akses ke rekening bank, serta belum terbiasa menggunakan produk keuangan formal.

Menurut Eliza, meskipun telah ada Peraturan Presiden (Perpres) yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor pertanian, persoalan struktural yang ada belum dapat diselesaikan. Banyak petani, terutama yang memiliki lahan kecil, kesulitan mengakses pembiayaan karena produk keuangan yang ada belum disesuaikan dengan karakteristik sektor pertanian yang membutuhkan fleksibilitas lebih.

Permasalahan struktural di sektor pertanian, seperti 54 persen penduduk miskin yang bekerja di sektor ini dan 62 persen petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, membuat sektor ini kurang menarik bagi bank. Hal ini memperburuk kesulitan petani dalam mengakses modal.

Eliza juga menambahkan bahwa produk keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan saat ini sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani skala kecil. Petani kecil tidak membutuhkan jumlah pinjaman yang besar seperti yang ditawarkan bank. Selain itu, risiko kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) menjadi perhatian utama bagi perbankan karena sektor pertanian, peternakan, dan perikanan menghadapi ketidakpastian terkait dengan harga komoditas yang fluktuatif serta sistem panen musiman.

Eliza menjelaskan bahwa meskipun petani mendapatkan kredit, mereka sering kali harus membayar angsuran bulanan, yang tidak sesuai dengan pola pendapatan mereka yang musiman. Ini menyebabkan ketidaksesuaian antara penawaran produk keuangan dengan kebutuhan pendanaan petani, nelayan, peternak, dan usaha kecil.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga menyatakan bahwa bank-bank anggota Himpunan Bank Negara (Himbara) telah menyediakan anggaran KUR sebesar Rp300 triliun untuk mendukung produksi pertanian, dengan alokasi Rp100 juta tanpa agunan untuk petani. Namun, seperti yang disampaikan oleh Eliza, agar sektor pertanian dapat berkembang lebih optimal, perlu ada penyesuaian dalam produk keuangan yang ditawarkan untuk mencocokkan karakteristik dan kebutuhan sektor ini.

Tinggalkan Balasan