Peringatan Hari Braille Dunia yang digelar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya hak akses informasi bagi semua kalangan, khususnya penyandang disabilitas. Hari Braille Dunia, yang diperingati setiap 4 Januari, menjadi momen untuk mengingatkan bahwa akses terhadap informasi dan pengetahuan adalah hak dasar setiap individu, termasuk mereka yang memiliki disabilitas.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham, Agung Damarsasongko, menekankan bahwa Hari Braille Dunia bukan hanya sebatas perayaan, melainkan juga sebagai pengingat akan pentingnya akses terhadap karya cipta dan pengetahuan bagi penyandang disabilitas. Dalam konteks ini, peraturan pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2019 menjadi landasan penting yang mendukung pemberian akses inklusif kepada penyandang disabilitas.
PP tersebut mengatur tentang fasilitasi akses terhadap karya cipta bagi penyandang disabilitas, yang memungkinkan mereka untuk mengakses, mengubah format, menggandakan, dan mendistribusikan karya cipta dalam bentuk yang lebih mudah diakses seperti braille atau buku audio. Hal ini tanpa perlu izin dari pemegang hak cipta, yang membuka peluang besar untuk meningkatkan aksesibilitas informasi bagi penyandang disabilitas, terutama tunanetra.
DJKI juga mengupayakan pemanfaatan teknologi modern untuk mendukung aksesibilitas, seperti perangkat konversi digital ke braille dan aplikasi pembaca layar yang semakin mudah diakses. Teknologi ini diharapkan dapat terus berkembang agar penyandang disabilitas dapat terhubung lebih luas dengan dunia pengetahuan.
Dalam konteks ini, Yayasan Mitra Netra, yang berfokus pada layanan perpustakaan untuk penyandang tunanetra, juga mengungkapkan bahwa sebelum PP 27/2019 ada keraguan mengenai legalitas produksi buku braille dan audio. Namun, setelah Indonesia meratifikasi Traktat Marrakesh dan penerapan regulasi ini, hal tersebut sudah tidak menjadi masalah lagi.
Meski demikian, tantangan masih ada, terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, baik dari kalangan penyandang disabilitas maupun dari pihak lain, tentang pentingnya akses literasi. Mitra Netra berkomitmen untuk terus menyediakan buku-buku braille, audio, dan ipap secara gratis bagi penyandang tunanetra di seluruh Indonesia, dengan harapan dapat memperluas akses literasi di kalangan mereka.
Peringatan Hari Braille Dunia yang diadakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai hak akses informasi bagi semua kalangan, khususnya penyandang disabilitas. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkum, Agung Damarsasongko, menyatakan bahwa Hari Braille Dunia tidak hanya sebagai perayaan, tetapi juga pengingat bahwa akses terhadap buku dan pengetahuan adalah hak fundamental setiap individu, termasuk penyandang disabilitas.
Agung menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2019 hadir untuk menjamin akses inklusif bagi penyandang disabilitas. PP tersebut memungkinkan penyandang disabilitas untuk memperoleh, menggunakan, mengubah format, menggandakan, serta mendistribusikan karya cipta dalam format braille, buku audio, atau sarana lainnya tanpa menghadapi hambatan hukum. Selain itu, PP ini memberikan keleluasaan bagi lembaga pendidikan, perpustakaan, dan komunitas lainnya untuk memproduksi dan mendistribusikan karya dalam format yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas tanpa harus meminta izin dari pemegang hak cipta.
Sejak diterbitkannya PP 27/2019, DJKI telah berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan ketersediaan karya dalam format braille dan buku audio. Selain itu, DJKI juga mendorong pemanfaatan teknologi modern, seperti perangkat konversi digital ke huruf braille dan aplikasi pembaca layar, yang semakin mudah diakses, untuk mendukung aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Kepala Bagian Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati, menambahkan bahwa sebelum adanya PP 27/2019, banyak pihak yang mempertanyakan legalitas produksi buku braille dan audio. Namun, setelah Indonesia meratifikasi Traktat Marrakesh dan adanya regulasi yang mendukung, masalah tersebut hampir tidak terdengar lagi. Meskipun demikian, Aria mengakui bahwa masih banyak masyarakat dan penyandang disabilitas yang belum mengetahui tentang akses literasi yang tersedia. Mitra Netra berkomitmen untuk terus menyediakan buku-buku braille, audio, dan ipap secara gratis bagi penyandang tunanetra di seluruh Indonesia.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.