Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah melaporkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berinisial LHS ke Bareskrim Polri terkait kasus Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif yang terjadi di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi pada tahun 2023-2024. Kemenperin melaporkan LHS dengan tuduhan tindak pidana penggunaan surat palsu yang dapat menimbulkan kerugian, sesuai dengan Pasal 263 ayat 2 KUHP, serta tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan sesuai dengan Pasal 421 KUHP.
Kemenperin juga memastikan bahwa mereka tidak akan membayar dana yang sudah diberikan oleh vendor kepada LHS, maupun dana yang digunakan untuk kegiatan berdasarkan SPK fiktif tersebut. Keputusan ini diambil untuk menghindari pelanggaran hukum dan potensi tindak pidana korupsi. Kemenperin menegaskan komitmennya dalam mendukung upaya antikorupsi dan memastikan bahwa anggaran digunakan sesuai peruntukannya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah melaporkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berinisial LHS ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri terkait kasus Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi pada tahun 2023-2024.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyatakan bahwa laporan ini sesuai dengan komitmen yang telah diberikan sebelumnya. Kemenperin mendukung penuh aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus ini secara transparan dan menegakkan keadilan.
Febri Hendri Antoni Arif menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilaporkan dalam kasus ini merujuk pada Pasal 263 ayat 2 KUHP, yang mengatur tentang penggunaan surat palsu yang dapat menimbulkan kerugian. Selain itu, Kemenperin juga melaporkan LHS dengan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan sesuai dengan Pasal 421 KUHP. Pasal ini mengatur bahwa seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang bertindak, tidak bertindak, atau membiarkan sesuatu, dapat dikenai hukuman pidana.
Ancaman hukuman bagi pelanggaran Pasal 421 KUHP tersebut adalah penjara dengan durasi paling lama dua tahun delapan bulan.
Febri Hendri Antoni Arif menjelaskan bahwa Kemenperin tidak akan membayar dana yang telah diberikan oleh vendor kepada LHS maupun dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan SPK fiktif. Keputusan ini didasarkan pada dua alasan utama:
- Dana yang diberikan vendor kepada LHS atau yang digunakan untuk kegiatan tersebut memang berdasarkan SPK fiktif, yang jelas tidak sah dan melanggar hukum.
- Kesalahan vendor yang tidak cermat dalam mempelajari SPK fiktif, yang akhirnya menyebabkan mereka dirugikan.
Kemenperin memastikan bahwa mereka akan mengambil langkah tegas untuk menghindari kerugian lebih lanjut dan mencegah pelanggaran hukum, serta tidak akan membayar dana terkait kegiatan yang melibatkan SPK fiktif tersebut.
Febri Hendri Antoni Arif menegaskan bahwa jika Kemenperin melakukan pembayaran menggunakan anggaran tahun 2025 untuk dana yang keluar berdasarkan SPK fiktif, itu berarti anggaran tersebut tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya. Sebaliknya, dana tersebut akan digunakan untuk membayar vendor-vendor yang terlibat dalam SPK fiktif tersebut.
Febri menambahkan bahwa tindakan tersebut bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Kemenperin berkomitmen untuk tidak melanggar hukum dan terlibat dalam praktik korupsi demi membayar vendor-vendor tersebut. Kemenperin menegaskan posisi tegas mereka dalam mendukung upaya antikorupsi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.