Pemohon dalam perkara sengketa Pilkada Bolsel dapat mendalilkan bahwa pembagian perlengkapan sekolah yang terjadi menjelang pemilihan merupakan tindakan yang melanggar ketentuan yang mengatur proses pemilu dan pilkada. Berikut adalah beberapa dalil yang dapat digunakan dalam perkara ini:
1. Pelanggaran terhadap Masa Tenang
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, masa tenang merupakan periode yang dilarang untuk melakukan kegiatan kampanye atau pengaruh apapun kepada pemilih. Pembagian perlengkapan sekolah seperti seragam, sepatu, buku, dan tas yang bergambar pasangan calon selama masa tenang jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan masa tenang. Ini bisa dianggap sebagai bentuk kampanye terselubung, di mana perlengkapan yang dibagikan bertujuan untuk mempengaruhi pemilih secara tidak langsung.
- Pasal 71 Ayat 1 UU Pilkada mengatur bahwa selama masa tenang, tidak ada pihak yang diperbolehkan melakukan kegiatan kampanye atau mempengaruhi pemilih. Pembagian perlengkapan sekolah dengan tujuan agar orang tua atau siswa memilih pasangan calon tertentu termasuk dalam bentuk kampanye yang dilarang pada periode ini.
2. Pelanggaran terhadap Prinsip Kampanye yang Adil dan Jujur
Kampanye dalam Pilkada harus dilaksanakan dengan keadilan dan tanpa intervensi yang dapat mempengaruhi pilihan pemilih secara tidak sah. Pembagian barang yang dapat dianggap sebagai politik uang dalam bentuk barang (perlengkapan sekolah) dapat merusak prinsip kampanye yang adil, karena hal ini berpotensi mengarahkan pilihan pemilih berdasarkan imbalan yang diterima, bukan berdasarkan keputusan pribadi yang bebas dari pengaruh material.
- Pasal 73 UU Pilkada melarang penggunaan barang atau uang dalam bentuk apapun untuk mempengaruhi pemilih, yang dapat dianggap sebagai politik uang. Dengan memberikan barang berupa perlengkapan sekolah yang terhubung dengan pasangan calon tertentu, hal ini dapat merusak keadilan dalam proses pemilu.
3. Penyalahgunaan Fasilitas Negara dan Pengaruh Aparatur Negara
Jika pembagian perlengkapan sekolah dilakukan oleh pejabat negara atau aparatur pemerintah, hal ini juga dapat dianggap sebagai penyalahgunaan fasilitas negara dan pengaruh jabatan untuk kepentingan politik. Misalnya, jika kepala sekolah atau aparat desa yang terlibat dalam pembagian perlengkapan sekolah tersebut, maka tindakan ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan jabatan dan pengaruh administratif yang dapat mempengaruhi pilihan pemilih.
- Pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada menyebutkan bahwa kepala daerah, pejabat negara, atau aparatur pemerintah lainnya tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Pembagian barang yang terkait dengan kampanye politik dapat merusak integritas proses pemilu dan dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
4. Pelanggaran terhadap Kode Etik Pilkada
Kode etik Pilkada menekankan pentingnya integritas, transparansi, dan kejujuran dalam setiap tahapan pemilihan. Pembagian perlengkapan sekolah oleh calon atau pihak terkait dengan pasangan calon tertentu dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kode etik, yang mengutamakan bahwa kampanye harus dilakukan dengan cara yang sah, adil, dan tidak merugikan pihak lain. Kampanye dengan memberikan barang atau jasa dapat merusak proses demokrasi yang sehat.
5. Pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017)
Dalam Pasal 73 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan bahwa setiap pemberian barang atau uang dengan tujuan mempengaruhi pemilih termasuk dalam kategori politik uang. Pembagian perlengkapan sekolah kepada siswa atau orang tua dengan harapan agar mereka memilih pasangan calon tertentu merupakan bentuk politik uang dalam bentuk barang, yang dilarang oleh undang-undang.
6. Dampak Terhadap Keputusan Pemilih
Pembagian perlengkapan sekolah yang dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi pemilih dapat mempengaruhi keputusan pemilih, terutama jika pemilih merasa terikat untuk memilih pasangan calon tertentu karena barang yang telah diberikan. Hal ini mengarah pada ketidakadilan dalam pemilihan dan merusak prinsip pemilu yang bebas dari pengaruh materi.
7. Penyelidikan oleh Bawaslu
Pemohon dapat mendalilkan bahwa mereka telah melaporkan dugaan pembagian perlengkapan sekolah kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun tidak mendapatkan tindak lanjut yang memadai. Bawaslu memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran Pilkada dan memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat mematuhi aturan yang berlaku.
- Jika Bawaslu tidak menindaklanjuti laporan tersebut, ini dapat menjadi alasan tambahan bahwa proses pengawasan tidak dilakukan dengan baik dan dapat merugikan salah satu pihak dalam Pilkada.
Kesimpulan
Dengan dalil-dalil di atas, pemohon dapat mengajukan keberatan terhadap pembagian perlengkapan sekolah sebagai bentuk kampanye terselubung atau politik uang dalam Pilkada Bolsel. Pembagian barang yang terhubung dengan pasangan calon, apalagi jika dilakukan pada masa tenang atau dengan tujuan mempengaruhi pilihan pemilih, harus dipandang sebagai pelanggaran serius yang dapat merusak integritas proses Pilkada dan mempengaruhi hasil pemilihan secara tidak sah. Pemohon dapat meminta Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti dan membatalkan hasil pemilu atau mendiskualifikasi pasangan calon yang terlibat dalam pelanggaran ini.
Berdasarkan dalil yang diajukan oleh pasangan calon Arsalan Makalalag-Hartina S. Badu dalam perkara sengketa Pilkada Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), mengenai pembagian perlengkapan sekolah yang diduga bertujuan untuk mengarahkan orang tua siswa memilih pasangan calon nomor urut 2, berikut adalah beberapa argumen dan dalil yang dapat diajukan dalam sidang Mahkamah Konstitusi:
1. Pelanggaran terhadap Masa Tenang
Pembagian perlengkapan sekolah yang terjadi selama masa tenang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang Pilkada. Masa tenang adalah periode di mana kampanye politik tidak diperbolehkan, untuk menjaga agar pemilih dapat membuat keputusan tanpa adanya pengaruh yang tidak sah. Dalam hal ini, pembagian barang seperti seragam, sepatu, buku, dan tas yang bergambar pasangan calon tertentu jelas bertujuan untuk mempengaruhi pemilih secara tidak sah.
- Pasal 71 Ayat 1 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa selama masa tenang, tidak boleh ada kegiatan yang dapat mempengaruhi pemilih, termasuk pembagian barang yang berhubungan dengan pasangan calon. Pembagian barang-barang ini yang terjadi selama masa tenang, khususnya dengan tujuan mengarahkan pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu, jelas merupakan pelanggaran yang harus ditindaklanjuti.
2. Politik Uang dalam Bentuk Barang
Pembagian perlengkapan sekolah ini dapat dianggap sebagai bentuk politik uang yang disalurkan dalam bentuk barang, yaitu perlengkapan sekolah yang diserahkan kepada siswa atau orang tua siswa. Politic money, yang dilarang oleh undang-undang, tidak hanya terbatas pada pemberian uang, tetapi juga dapat berupa barang atau layanan yang diberikan dengan tujuan untuk mempengaruhi pemilih.
- Pasal 73 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 melarang pemberian uang, barang, atau keuntungan lainnya yang diberikan untuk mempengaruhi pemilih, baik dalam bentuk langsung atau tidak langsung. Pembagian barang seperti ini, yang terhubung dengan pasangan calon tertentu, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pemilu yang bersih dan adil.
3. Penyalahgunaan Fasilitas Pendidikan
Tindakan kepala sekolah dan guru yang membagikan perlengkapan sekolah dan memberikan arahan kepada siswa dan orang tua agar memilih pasangan calon tertentu merupakan penyalahgunaan fasilitas pendidikan. Sekolah dan guru seharusnya bersikap netral dalam setiap peristiwa politik dan tidak boleh terlibat dalam proses kampanye atau memberikan arahan kepada pemilih.
- Pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada menegaskan bahwa pejabat publik dan aparatur negara (termasuk kepala sekolah dan guru) dilarang untuk menggunakan fasilitas atau kekuasaannya untuk kepentingan politik. Jika kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam pembagian barang ini, mereka telah melanggar ketentuan tersebut.
4. Pelanggaran terhadap Kode Etik Pilkada
Kode etik Pilkada mengharuskan semua pihak untuk menjaga keadilan, transparansi, dan netralitas selama proses kampanye. Pembagian barang yang dapat mempengaruhi pemilih dan dilakukan selama masa tenang jelas merupakan pelanggaran terhadap kode etik yang menuntut kampanye yang adil dan tidak berpihak. Tindakan ini berpotensi menciptakan ketidaksetaraan antara calon-calon yang berkompetisi dalam Pilkada.
5. Keterlibatan Aparatur Desa dan Pengawasan yang Tidak Efektif
Jika pembagian perlengkapan sekolah ini melibatkan aparatur desa atau penyelenggara pemilu lainnya, hal ini juga bisa menunjukkan adanya ketidaknetralan dalam pelaksanaan Pilkada. Pengawasan yang tidak efektif oleh Bawaslu dan penyelenggara pemilu lainnya, yang tidak menindaklanjuti laporan tentang pembagian perlengkapan sekolah ini, merupakan masalah serius yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas Pilkada.
6. Pengaruh terhadap Pemilih dan Ketidakadilan Proses Pemilu
Pembagian barang seperti seragam, sepatu, dan buku yang bergambar pasangan calon nomor urut 2 berpotensi untuk mempengaruhi keputusan pemilih, terutama bagi mereka yang menerima barang tersebut. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilu, karena pemilih yang menerima barang mungkin merasa terikat untuk memilih pasangan calon tersebut, meskipun mereka tidak benar-benar bebas dalam membuat keputusan.
7. Permintaan Pembatalan Hasil Pemilu dan Diskualifikasi Pasangan Calon
Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan di atas, pasangan calon Arsalan-Hartina dapat meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil pemilu atau mendiskualifikasi pasangan calon Iskandar-Deddy jika terbukti bahwa pembagian perlengkapan sekolah tersebut mempengaruhi hasil Pilkada secara signifikan. Jika pembagian barang ini terbukti telah merubah keputusan pemilih, maka keputusan Pilkada tersebut harus dibatalkan atau pasangan calon yang terlibat harus didiskualifikasi.
Kesimpulan
Pemohon dapat mengajukan bukti-bukti yang mengarah pada adanya pelanggaran pembagian perlengkapan sekolah pada masa tenang, serta peran kepala sekolah dan guru dalam mengarahkan pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu. Dengan mempertimbangkan dalil-dalil tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini dan membatalkan hasil pemilihan atau memberikan sanksi yang sesuai terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.
Terkait dengan dugaan politik uang berupa pembagian uang pecahan Rp50.000 yang dilakukan oleh oknum kepala Dinas Pendidikan di Kecamatan Pinolosian, berikut adalah beberapa argumen yang dapat diajukan oleh Arsalan-Hartina dalam perkara sengketa Pilkada Bolsel:
1. Pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Pilkada (UU No. 10 Tahun 2016)
Politik uang atau money politic jelas merupakan pelanggaran yang diatur dalam Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal ini dengan tegas melarang pemberian uang, barang, atau keuntungan lainnya kepada pemilih dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan mereka. Pemberian uang pecahan Rp50.000 kepada pemilih yang menuju TPS merupakan bentuk pelanggaran yang melibatkan pemberian imbalan material untuk mempengaruhi pilihan pemilih secara tidak sah.
- Pasal 73 Ayat 1 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang memberikan uang, barang, atau keuntungan lainnya kepada pemilih atau penyelenggara pemilu untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya.” Pembagian uang ini jelas termasuk dalam kategori politik uang yang melanggar pasal ini.
2. Penyalahgunaan Fasilitas Negara dan Jabatan
Jika dugaan pembagian uang tersebut melibatkan oknum kepala Dinas Pendidikan, ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara. Sebagai pejabat publik, kepala Dinas Pendidikan seharusnya tidak menggunakan posisinya untuk kepentingan politik. Tindakan ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang untuk mempengaruhi pemilih dengan cara yang tidak sah.
- Pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada melarang pejabat publik dan aparatur negara untuk menggunakan fasilitas negara atau jabatan untuk kepentingan politik praktis. Pembagian uang oleh kepala Dinas Pendidikan ini, yang merupakan pejabat pemerintah, jelas melanggar ketentuan ini.
3. Pelanggaran terhadap Prinsip Pemilu yang Adil dan Jujur
Salah satu prinsip dasar pemilu adalah keadilan dan kejujuran. Pembagian uang menjelang pemungutan suara jelas bertentangan dengan prinsip ini, karena dapat mempengaruhi pemilih secara tidak sah, terutama dalam situasi yang dekat dengan hari pemilihan. Pemilih yang menerima uang mungkin merasa terikat atau tergoda untuk memilih pasangan calon yang memberikan imbalan tersebut, yang merusak keadilan dalam pemilu.
- Pasal 73 Ayat 2 UU Pilkada juga mengatur sanksi yang tegas bagi mereka yang melakukan praktik politik uang, yaitu dapat didiskualifikasi jika terbukti melanggar ketentuan ini. Pembagian uang dengan tujuan mempengaruhi pilihan pemilih jelas merusak proses pemilu yang bebas dan adil.
4. Kegagalan Bawaslu untuk Menindaklanjuti Laporan
Arsalan-Hartina dapat mendalilkan bahwa kegagalan Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan tentang dugaan politik uang adalah salah satu masalah yang perlu diperhatikan. Bawaslu seharusnya memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti setiap laporan yang berkaitan dengan pelanggaran Pilkada, termasuk praktik politik uang.
- Jika Bawaslu tidak menindaklanjuti laporan dengan alasan bahwa tindakan tersebut bukan pelanggaran Pilkada, ini menunjukkan kurangnya pengawasan terhadap pelanggaran yang dapat merusak integritas Pilkada. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadil Pilkada memiliki kewenangan untuk menilai apakah kegagalan Bawaslu dalam menindaklanjuti laporan ini merupakan masalah yang serius dan memengaruhi hasil Pilkada.
5. Pertanyaan tentang Keabsahan Pemilihan
Jika praktik politik uang ini dilakukan secara sistematis dan mempengaruhi banyak pemilih, maka hal tersebut dapat memengaruhi keabsahan hasil pemilu. Pembagian uang pada saat pemungutan suara berpotensi mengubah keputusan pemilih yang pada dasarnya harus bebas dari tekanan atau imbalan.
- Pasal 158 UU Pilkada memberikan Mahkamah Konstitusi kewenangan untuk membatalkan hasil pemilu jika terbukti ada pelanggaran serius yang mempengaruhi hasil Pilkada. Jika politik uang terbukti dilakukan secara luas dan mempengaruhi pemilih, hasil Pilkada bisa saja dibatalkan atau pasangan calon yang terlibat dapat didiskualifikasi.
6. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang Membingungkan
Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, terdapat kebingungan atas pernyataan Bawaslu yang menganggap praktik politik uang ini bukan pelanggaran Pilkada. Hal ini menunjukkan pentingnya Mahkamah Konstitusi untuk menilai secara menyeluruh dugaan praktik politik uang dan memastikan bahwa proses pemilu dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan.
- Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat menilai apakah praktik politik uang ini berdampak pada hasil pemilu dan, jika terbukti, meminta tindakan yang sesuai, seperti pembatalan hasil pemilihan atau pendiskualifikasian pasangan calon.
Kesimpulan
Pihak Arsalan-Hartina dapat mengajukan bukti dan argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa politik uang berupa pembagian uang pecahan Rp50.000 oleh oknum kepala Dinas Pendidikan di Kecamatan Pinolosian merupakan pelanggaran terhadap ketentuan UU Pilkada yang mengatur tentang politik uang. Selain itu, kegagalan Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan ini menunjukkan adanya celah dalam pengawasan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam memutuskan apakah praktik politik uang ini cukup merusak integritas Pilkada dan layak untuk dibatalkan atau mendiskualifikasi pasangan calon yang terlibat.
Terkait dengan dugaan politik uang berupa pembagian uang pecahan Rp50.000 yang dilakukan oleh oknum kepala Dinas Pendidikan di Kecamatan Pinolosian, berikut adalah beberapa argumen yang dapat diajukan oleh Arsalan-Hartina dalam perkara sengketa Pilkada Bolsel:
1. Pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Pilkada (UU No. 10 Tahun 2016)
Politik uang atau money politic jelas merupakan pelanggaran yang diatur dalam Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal ini dengan tegas melarang pemberian uang, barang, atau keuntungan lainnya kepada pemilih dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan mereka. Pemberian uang pecahan Rp50.000 kepada pemilih yang menuju TPS merupakan bentuk pelanggaran yang melibatkan pemberian imbalan material untuk mempengaruhi pilihan pemilih secara tidak sah.
- Pasal 73 Ayat 1 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang memberikan uang, barang, atau keuntungan lainnya kepada pemilih atau penyelenggara pemilu untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya.” Pembagian uang ini jelas termasuk dalam kategori politik uang yang melanggar pasal ini.
2. Penyalahgunaan Fasilitas Negara dan Jabatan
Jika dugaan pembagian uang tersebut melibatkan oknum kepala Dinas Pendidikan, ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara. Sebagai pejabat publik, kepala Dinas Pendidikan seharusnya tidak menggunakan posisinya untuk kepentingan politik. Tindakan ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang untuk mempengaruhi pemilih dengan cara yang tidak sah.
- Pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada melarang pejabat publik dan aparatur negara untuk menggunakan fasilitas negara atau jabatan untuk kepentingan politik praktis. Pembagian uang oleh kepala Dinas Pendidikan ini, yang merupakan pejabat pemerintah, jelas melanggar ketentuan ini.
3. Pelanggaran terhadap Prinsip Pemilu yang Adil dan Jujur
Salah satu prinsip dasar pemilu adalah keadilan dan kejujuran. Pembagian uang menjelang pemungutan suara jelas bertentangan dengan prinsip ini, karena dapat mempengaruhi pemilih secara tidak sah, terutama dalam situasi yang dekat dengan hari pemilihan. Pemilih yang menerima uang mungkin merasa terikat atau tergoda untuk memilih pasangan calon yang memberikan imbalan tersebut, yang merusak keadilan dalam pemilu.
- Pasal 73 Ayat 2 UU Pilkada juga mengatur sanksi yang tegas bagi mereka yang melakukan praktik politik uang, yaitu dapat didiskualifikasi jika terbukti melanggar ketentuan ini. Pembagian uang dengan tujuan mempengaruhi pilihan pemilih jelas merusak proses pemilu yang bebas dan adil.
4. Kegagalan Bawaslu untuk Menindaklanjuti Laporan
Arsalan-Hartina dapat mendalilkan bahwa kegagalan Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan tentang dugaan politik uang adalah salah satu masalah yang perlu diperhatikan. Bawaslu seharusnya memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti setiap laporan yang berkaitan dengan pelanggaran Pilkada, termasuk praktik politik uang.
- Jika Bawaslu tidak menindaklanjuti laporan dengan alasan bahwa tindakan tersebut bukan pelanggaran Pilkada, ini menunjukkan kurangnya pengawasan terhadap pelanggaran yang dapat merusak integritas Pilkada. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadil Pilkada memiliki kewenangan untuk menilai apakah kegagalan Bawaslu dalam menindaklanjuti laporan ini merupakan masalah yang serius dan memengaruhi hasil Pilkada.
5. Pertanyaan tentang Keabsahan Pemilihan
Jika praktik politik uang ini dilakukan secara sistematis dan mempengaruhi banyak pemilih, maka hal tersebut dapat memengaruhi keabsahan hasil pemilu. Pembagian uang pada saat pemungutan suara berpotensi mengubah keputusan pemilih yang pada dasarnya harus bebas dari tekanan atau imbalan.
- Pasal 158 UU Pilkada memberikan Mahkamah Konstitusi kewenangan untuk membatalkan hasil pemilu jika terbukti ada pelanggaran serius yang mempengaruhi hasil Pilkada. Jika politik uang terbukti dilakukan secara luas dan mempengaruhi pemilih, hasil Pilkada bisa saja dibatalkan atau pasangan calon yang terlibat dapat didiskualifikasi.
6. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang Membingungkan
Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, terdapat kebingungan atas pernyataan Bawaslu yang menganggap praktik politik uang ini bukan pelanggaran Pilkada. Hal ini menunjukkan pentingnya Mahkamah Konstitusi untuk menilai secara menyeluruh dugaan praktik politik uang dan memastikan bahwa proses pemilu dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan.
- Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat menilai apakah praktik politik uang ini berdampak pada hasil pemilu dan, jika terbukti, meminta tindakan yang sesuai, seperti pembatalan hasil pemilihan atau pendiskualifikasian pasangan calon.
Kesimpulan
Pihak Arsalan-Hartina dapat mengajukan bukti dan argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa politik uang berupa pembagian uang pecahan Rp50.000 oleh oknum kepala Dinas Pendidikan di Kecamatan Pinolosian merupakan pelanggaran terhadap ketentuan UU Pilkada yang mengatur tentang politik uang. Selain itu, kegagalan Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan ini menunjukkan adanya celah dalam pengawasan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam memutuskan apakah praktik politik uang ini cukup merusak integritas Pilkada dan layak untuk dibatalkan atau mendiskualifikasi pasangan calon yang terlibat.
Dalam perkara Nomor 11/PHPU.BUP-XXIII/2025, Arsalan Makalalag-Hartina S. Badu mendalilkan adanya dugaan kecurangan yang dilakukan oleh kepala desa dan aparat desa terkait dengan pemilihan di Kecamatan Pinolosian. Berikut adalah beberapa argumen dan dalil yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan pelanggaran yang disebutkan:
1. Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Desa
Kepala Desa Torosik, yang seharusnya bersikap netral, diduga terlibat langsung dalam memengaruhi pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan mengawal pemilih hingga ke bilik suara dan bahkan mengerahkan pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu, ini merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk kepentingan politik. Kepala desa seharusnya tidak boleh terlibat dalam proses pemilihan, apalagi memberikan arahan langsung kepada pemilih mengenai siapa yang harus mereka pilih.
- Pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa pejabat publik atau aparat desa tidak boleh menggunakan jabatannya untuk kepentingan kampanye atau mempengaruhi pemilih. Tindakan kepala desa yang masuk ke TPS dan mengarahkan pemilih jelas melanggar ketentuan ini.
2. Pelanggaran terhadap Netralitas Penyelenggara Pemilu
Selain kepala desa, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) diduga membiarkan oknum kepala desa mengarahkan pemilih. Sebagai penyelenggara pemilu, KPPS memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dan memastikan bahwa pemilih dapat membuat pilihan mereka secara bebas dan tanpa intervensi eksternal. Membiarkan kepala desa mengarahkan pemilih ke dalam bilik suara dan memberikan arahan terkait pasangan calon yang harus dipilih adalah bentuk pelanggaran terhadap kewajiban netralitas penyelenggara pemilu.
- Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memastikan bahwa pemilih dapat memilih tanpa ada paksaan atau pengaruh dari pihak lain. Tindakan kepala desa yang memengaruhi pemilih di TPS bertentangan dengan prinsip ini.
3. Ketidakberdayaan Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Pilkada juga diduga membiarkan terjadinya pelanggaran tanpa mengambil tindakan yang diperlukan. Jika Panwaslu kecamatan tidak melaporkan atau tidak menindaklanjuti temuan terkait penyalahgunaan wewenang oleh kepala desa, maka ini menunjukkan kegagalan dalam pengawasan dan dapat memperburuk kondisi pemilu yang tidak adil.
- Pasal 150 UU Pilkada menyatakan bahwa pengawas pemilu memiliki tugas untuk menindaklanjuti laporan tentang pelanggaran Pilkada. Jika Panwaslu tidak menindaklanjuti laporan tentang pelanggaran ini, maka pengawasan dalam Pilkada menjadi tidak efektif, dan hal tersebut dapat merusak kredibilitas dan integritas pemilu.
4. Pelanggaran terhadap Prinsip Pemilu yang Bebas dan Adil
Pemilu yang bebas dan adil merupakan prinsip utama dalam setiap proses pemilihan. Intervensi kepala desa yang mengarahkan pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu, serta ketidaknetralan penyelenggara pemilu, jelas merusak prinsip pemilu yang bebas dan adil. Pemilih yang dipengaruhi oleh arahan kepala desa tidak dapat membuat keputusan yang bebas dan mandiri, yang mengarah pada ketidakadilan dalam pemilu.
- Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan untuk menyatakan pilihannya tanpa paksaan. Setiap bentuk intervensi yang mengarah pada manipulasi suara pemilih harus dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak dasar tersebut.
5. Permintaan Pembatalan Hasil Pemilu dan Diskualifikasi Pasangan Calon
Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang telah disebutkan di atas, pihak Arsalan-Hartina dapat meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan atau mendiskualifikasi pasangan calon Iskandar-Deddy jika terbukti bahwa kecurangan yang melibatkan kepala desa dan aparat desa ini mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan.
- Pasal 158 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 memberikan Mahkamah Konstitusi kewenangan untuk membatalkan hasil Pilkada apabila terbukti ada pelanggaran yang mengarah pada ketidakadilan dan merusak integritas pemilu. Jika praktik kecurangan ini terbukti mempengaruhi hasil pemilu secara material, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keputusan KPU.
6. Bukti yang Dapat Diajukan
- Kesaksian pemilih yang melihat langsung bahwa mereka dikawal atau diarahkan oleh kepala desa ke bilik suara.
- Bukti rekaman atau laporan dari Panwaslu kecamatan yang menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam menangani pelanggaran ini.
- Dokumen atau laporan lain yang dapat menunjukkan keterlibatan kepala desa dalam kegiatan kampanye di TPS, serta tindak lanjut yang tidak dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Kesimpulan
Pihak Arsalan-Hartina dapat mengajukan bukti-bukti yang mendukung dugaan kecurangan oleh kepala desa dan aparat desa yang memengaruhi pemilih secara langsung di TPS. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menilai apakah praktik kecurangan ini cukup signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu dan memberikan keputusan untuk membatalkan hasil pemilu atau mendiskualifikasi pasangan calon Iskandar-Deddy jika terbukti melakukan pelanggaran.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.