PBNU: Soal libur Ramadhan sekolah, perlu rencana aktivitas yang jelas

Terkait dengan wacana libur sekolah selama bulan Ramadan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyarankan agar ada perencanaan aktivitas yang jelas untuk mengisi waktu libur tersebut. Menurut Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), penting untuk memastikan bahwa waktu libur tersebut digunakan dengan kegiatan yang bermanfaat bagi siswa, agar mereka tidak terjebak dalam kebiasaan yang tidak produktif seperti tidur sepanjang hari.

Gus Yahya mengingatkan pentingnya merancang kegiatan yang tidak hanya terkait dengan ibadah, tetapi juga dapat memperkaya pengalaman spiritual dan pendidikan siswa. Ia menyebutkan bahwa di pesantren, misalnya, intensitas kegiatan mengaji meningkat drastis selama Ramadan, dengan jumlah sesi mengaji yang lebih banyak dari hari biasa. Ini dilakukan untuk “memanen barokah” sebanyak-banyaknya selama bulan suci.

Gus Yahya juga mencatat bahwa kebijakan libur Ramadan di sekolah harus mempertimbangkan semua aspek, termasuk siswa non-Muslim. Oleh karena itu, perlu ada perhatian terhadap bagaimana anak-anak non-Muslim akan mengisi waktu mereka selama libur Ramadan.

Menanggapi hal ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar juga mengonfirmasi bahwa kebijakan libur selama Ramadan masih merupakan wacana yang sedang dibahas. Namun, ia mengungkapkan bahwa beberapa lembaga pendidikan berbasis pondok pesantren memang sudah menerapkan kebijakan ini, dengan fokus pada peningkatan kegiatan keagamaan selama bulan Ramadan.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menambahkan bahwa hingga saat ini, libur sekolah selama bulan puasa masih merupakan topik yang belum dibahas secara resmi di Kementerian Pendidikan. Oleh karena itu, keputusan final mengenai hal ini masih perlu dirumuskan lebih lanjut dengan mempertimbangkan berbagai faktor.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan tanggapan terkait wacana libur sekolah selama bulan Ramadan yang diajukan oleh Kementerian Agama. Dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menyatakan bahwa apabila libur tersebut diterapkan, perlu ada rencana aktivitas yang jelas untuk mengisi waktu libur bagi para siswa. Hal ini bertujuan agar waktu libur tidak diisi dengan kegiatan yang tidak produktif, seperti hanya tidur di rumah.

Gus Yahya memberikan contoh dari masa lalu, di mana anak-anak sekolah pernah diminta untuk mengikuti tarawih di masjid dan meminta tanda tangan imam sebagai bukti mereka ikut beribadah. Namun, ia mengungkapkan bahwa model tersebut belum dapat diandalkan sebagai solusi yang optimal untuk mengisi waktu libur dengan kegiatan yang bermanfaat.

Selain itu, Gus Yahya juga menekankan pentingnya mempertimbangkan bagaimana kebijakan libur Ramadan ini akan mempengaruhi siswa non-Muslim. Jika siswa Muslim diliburkan selama bulan puasa, maka perlu dipikirkan dengan baik kegiatan apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak non-Muslim selama waktu libur tersebut, agar kebijakan ini tidak menimbulkan ketimpangan atau ketidaknyamanan.

Dengan demikian, PBNU mengusulkan agar rencana libur sekolah selama Ramadan tidak hanya berfokus pada waktu libur itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana mengisi waktu tersebut dengan kegiatan yang mendidik dan bermanfaat bagi semua siswa.

Gus Yahya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memberikan contoh dari praktik di pesantren terkait intensitas kegiatan mengaji selama bulan Ramadan. Di pesantren, kegiatan mengaji selama bulan Ramadan lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Pada bulan biasa, kegiatan mengaji dilakukan sekitar tiga kali sehari, sementara selama Ramadan, kegiatan tersebut bisa mencapai tujuh kali sehari, bahkan berlangsung hingga tengah malam dan baru selesai menjelang sahur. Ini dilakukan dengan tujuan untuk “memanen barokah” sebanyak-banyaknya selama bulan suci Ramadan, di mana intensitas ibadah di pesantren ditingkatkan untuk meraih keberkahan yang lebih besar.

Wacana mengenai libur sekolah selama bulan Ramadan kini tengah menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Kebijakan semacam ini sebelumnya pernah diterapkan pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Libur Nasional dan Cuti Bersama 2025, tercatat ada 16 hari libur nasional dan tujuh hari cuti bersama, termasuk libur Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 31 Maret hingga 1 April 2025.

Namun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa hingga saat ini, wacana libur sekolah selama bulan Ramadan masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Agama dan belum ada keputusan resmi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun wacana tersebut sudah beredar, keputusan final terkait kebijakan tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut.

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar juga mengungkapkan bahwa wacana mengenai libur sekolah selama bulan Ramadan masih dalam tahap pembahasan dan belum menjadi keputusan resmi. Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa kebijakan untuk meliburkan kegiatan pendidikan selama bulan Ramadan masih diterapkan di sejumlah satuan pendidikan berbasis pondok pesantren. Di pesantren, waktu selama Ramadan sering dimanfaatkan untuk memperbanyak kegiatan keagamaan seperti mengaji dan beribadah, sehingga kegiatan akademik sering disesuaikan dengan semangat bulan suci ini.

Dengan demikian, meskipun wacana libur sekolah selama Ramadan masih dalam pembahasan, kebijakan serupa sudah diterapkan di pesantren, di mana fokus utama adalah memperdalam ibadah dan pendidikan agama.

Tinggalkan Balasan